RA
Kartini: ..Min azh Zhulumaati ila an Nuur..
[Dari
Gelap Menuju Cahaya]
-penggalan QS Al Baqarah : 257-
Ada
yang mengernyitkan dahi membaca judul di atas? Atau ada yang protes, “RA
Kartini dan Dari Gelap Menuju Cahaya?
Bukankah seharusnya RA Kartini dan Habis
Gelap Terbitlah Terang?” Atau ada yang lebih kritis menanyakan, “Apa
hubuangannya RA Kartini dan penggalan QS Al Baqarah:257?”
Bagi
kaum perempuan yang mengkaji dengan teliti sejarah RA Kartini, mereka paham
bahwa sesungguhnya beliau bukanlah pejuang emansipasi (ataupun feminisme)
tetapi pejuang Islam. Mungkin, masih banyak di antara kita yang mengernyitkan
dahi sambil terheran-heran. Atau ada yang mau protes, “Nggak kq!! Yakin 100% bahwa beliau adalah pejuang emansipasi!
Mayoritas referensi menyatakan demikian.”
Hmh..,
ingat, Kawan, suara mayoritas bukanlah standar kebenaran. Belum tentu yang
mayoritas itu yang benar. Contohnya : mayoritas penduduk Perancis menyetujui
adanya pelarangan terhadap wanita muslimah di sana untuk memakai jilbab (dan keputusan
ini disahkan oleh parlemen Perancis). Di AS dan beberapa negara Eropa,
mayoritas masyarakatnya menganggap perilaku homo dan lesbian sebagai bentuk
kebebasan bertingkah laku sehingga pelakunya harus dilindungi undang-undang.
Nah, apakah tidak menutup aurat bagi muslimah, juga perilaku homo dan lesbian,
akan dianggap benar dan halal karena suara mayoritas demikian adanya?
RA Kartini dan
Islam
Di
waktu kecilnya, RA Kartini pernah menjadi santri KH. Muhammad Sholeh Darat bin
Umar, seorang ulama besar dari Semarang yang tergugah untuk menerjemahkan Al
Quran ke bahasa Jawa dan menghadiahkan terjemahan tersebut pada saat Kartini
menikah (RA Kartini menikah di usia 24 tahun dan beliau wafat di usianya yang
ke-25). Terjemahan itu berupa jilid I yang terdiri dari 13 juz, dari Surat Al
Fatihah sampai Surat Ibrahim. Terjemahan tersebut belum selesai karena tidak
lama setelah itu KH Sholeh Darat wafat.
Sejak mendapat terjemah Al Quran
tersebut, Kartini mulai mempelajari Islam dengan sesungguhnya. Seandainya beliau
sempat mempelajari keseluruhan isi Al Quran, maka tidak mustahil beliau akan
menerapkan semua hal yang dituntut Islam atas kemuslimahannya (termasuk jilbab
dan khimar/kerudung). Buktinya? RA Kartini berani menentang adat Jawa yang
dirasanya sangat feodal.
“Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran
(fikrah) dan keningratan budi (akhlak). Tidak ada yang lebih gila dan bodoh
menurut persepsi saya daripada melihat orang yang membanggakan keturunannya.”
[Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899].
Kartini juga pernah menentang
poligami. Namun, setelah mengenal Islam beliau menerimanya dengan sukarela (RA
Kartini adalah istri ke-4 dari Bupati Rembang).
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu
benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi
apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal
indah dalam masyarakat Ibu terdapat hal-hal yang sama sekali tidak patut
disebut sebagai peradaban?!” [Surat Kartini kepada
Ny. E. Abdanon, 27 Oktober 1902].
Dari mempelajari Islam melalui
terjemahan Al Quran itulah Kartini menemukan Surat Al-Baqarah:257. Beliau
sangat terkesan dengan kata “minazh
zhulumati ilan nuur” yang artinya dari gelap menuju (kepada) cahaya. Dalam banyak
suratnya yang ditulis dalam bahasa Belanda, beliau sering menyebutkan kata
tersebut “door Duisternist tot Licht”. Setelah
beliau wafat, kata itu kehilangan makna sampai akhirnya diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang” oleh
seorang pengarang Kristen, Armyne Pane, yang mungkin lebih puitis tapi malah nggak persis (sense dan maknanya)[dalam Asma Karimah. Tragedi Kartini:
Sebuah Pertarungan Ideologi]
RA. Kartini bahkan pernah menulis,
“Moga-moga
kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama
Islam patut disukai.” [ Surat Kartini kepada Ny. Van
Kol, 21 Juli 1902 ].
Bukan Pejuang
Emansipasi
Nah,
kalau kembali ke sejarah Kartini, maka sebenarnya mengaitkan sejarah Kartini
dengan emansipasi adalah bentuk pemaksaan yang tulalit alias nggak nyambung.
Sejatinya, RA. Kartini tidak berjuang untuk emansipasi/feminisme. Yang justru
beliau perjuangkan adalah Islam, di mana Islam adalah lawan dari sekulerisme (paham yang memisahkan
agama dari semua aspek kehidupan/ paham yang menganggap bahwa agama tidak boleh
campur tangan dalam mengatur kehidupan) yang menjadi ide dasar
feminisme. Apa yang beliau perjuangkan adalah hak perempuan pribumi dalam
menuntut ilmu dan belajar (di dalam Islam, menuntut ilmu itu wajib bagi
laki-laki dan perempuan), karena pada saat itu laki-laki diperbolehkan menuntut
ilmu sampai jenjang yang tinggi, sementara perempuan dibatasi sampai jenjang
tertentu saja.
Apa yang RA Kartini perjuangkan bukanlah kebebasan yang “over dosis” bagi wanita sebagaimana yang digembar-gemborkan
kalangan feminis.
“Alangkah
besarnya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan
untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang
sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan...”
[Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, Agustus 1901].
Beliau juga menulis, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran
dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan
anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya.
Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita agar
wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam
sendiri ke dalam tangannya menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
[Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Ny. Anton, 4 Maret 1902]
Jadi, dari mana
Asal Ide-ide Emansipasi?
Emansipasi, ide yang
digembor-gemborkan kaum feminis, sebenarnya berasal dari sejarah gelap Eropa;
tepatnya sejarah Romawi (cikal bakal peradaban Barat). Saat itu, bangsa Romawi
aktif mengadakan seminar-seminar untuk membahas tabiat dan karakter wanita :
Apakah wanita tergolong suatu benda atau manusia? Apakah wanita memiliki nyawa
seperti pria ataukah ia hanya memiliki nyawa seperti nyawa binatang? Pada
akhirnya, seminar-seminar tersebut berkesimpulan bahwa wanita tidak memiliki
nyawa sama sekali. Bahkan wanita pun (dalam bahasa Romawi femina, fe dari kata faith dan mina dari kata minus)
diartikan sebagai orang yang imannya kurang. Dalam peradaban Romawi, kaum
wanita diperlakukan seperti barang, diperbudak, serta dianggap seperti benda
mati.
Pasca Perang Dunia I dan II, Eropa
mengeluh kekurangan pria dewasa dan pemuda produktif untuk proses
industrialisasi. Dengan alasan untuk mendorong roda pembangunan, kaum wanita
dipaksa keluar rumah untuk bekerja di pabrik, kantor, dan instansi
pemerintahan, dan sebagainya. Kaum wanita diberi kebebasan berkiprah
seluas-luasnya di sektor publik. Wanita yang tidak terjun ke ranah publik
justru dianggap tidak punya martabat, tidak berdaya, dan tidak memiliki nilai
lebih. Oleh karena itu, kaum feminis beranggapan bahwa kaum wanita harus
diberdayakan melalui slogan-slogan emansipasi. Bahkan kaum feminis dan pegiat
gender memandang bahwa Islam (yang menjadikan perempuan memiliki peran utama
sebagai ibu dan pengatur rumah tangga) sebagai faktor yang membelenggu
perempuan. Mereka mengganggap pembagian peran
tersebut
sebagai bentuk penindasan terhadap kaum wanita. Maka, menurut para pejuang
gender dan kaum feminis, wanita harus dibebaskan dari berbagai penindasan ini; yang berarti pula bahwa wanita
harus dijauhkan dari Islam.
*diolah dari berbagai sumber
~Media Opini KMMP~
kayaknya aku pernah deh lihat tulisan ini dan turut membantu mengetiknya..... hehehe dari anak mikro ya...^^
BalasHapusiya benar sekali, ini tulisannya ukhti ninis (mikro 2011)
BalasHapusWaahh,, saya baru buka web ini. Ini adalah tulisan saya (Yohanna Anisa, mikro'08). Waktu itu atas permintaan dik Fitpridar KMMP. Baru tahu klo tulisan saya dipublish tanpa mencantumkan nama saya. ^^,
Hapus