Muhasabah
Diam dan Rasakan: Pentingkah?
Yes, I’m selfish. So What?
Tulisan
itu tertempel di dinding kamar seorang teman, tidak hanya selembar, lebih.
Sekilas biasa saja, bahkan pada suatu hari kita merasa perlu untuk mengatakan
itu semua, ketika semua masalah terakumulasi jadi satu, ketika kita merasa
tidak ada yang mendengarkan, ketika semuanya terlihat tanpa titik terang,
terkadang kita ingin menjatuhkan diri pada kata: mencari senang.
Sedetik, dua detik, lima menit, bisa jadi kita merasa puas dengan semua
kemenangan dan keegoisan yang kita tunjukkan, sesudahnya mungkin kita perlu
merasakannya lebih dalam: bisa jadi kita senang, tapi benarkah kita tenang?
Baiklah, mari kta sama-sama singgah sebentar di sebuah ruang bernama
introspeksi. Kita bisa memulainya dengan menambahkan Caravansary milik
Kitaro di playlist music player kita dan mengajukan tanya: begitu
pentingkah kita, begitu berharganyakah kita ketimbang semuanya hingga tiba-tiba
kita selalu merasa ingin dipentingkan dan selalu ingin diperhatikan? Tidak
adakah hal lain yang lebih penting dari semua tuntutan-tuntutan kita?
Jawabannya ada, dan ialah dakwah, yang lebih penting dari apapun, segersang
apapun suasana hati kita, sebegitu inginnya kita untuk dilihat dan dikukuhkan
oleh semua orang, jika itu tak pernah membawa kemajuan pada dakwah, maka sudah
seharusnya kita mengambil kembali poster-poster itu dari dinding hati kita dan
membuangnya ke tempat sampah. Bisa jadi kita boleh egois, tapi sungguh kita
akan menjadi tidak penting ketika berhadapan dengan kata: dakwah.
Orang
bilang itu mengalah, yang lain menyimpulkan bahwa mengalah hanyalah sebuah
pembelaan diri atas jiwa yang telah kalah. Terserah sajalah, ada banyak pikir
yang kadang membuat kita jadi kian fakir. Seperti apapun definisi yang ada,
yakinlah bahwa justru dengan mengalah kita tidak akan pernah merasa kalah.
Dalam beberapa kondisi, adakalnya kita begitu ingin semua orang mengatakan iya
pada setiap apa yang kita minta dan tiba-tiba merasa tidak berharga ketika
seseorang itu menolaknya. Pada waktu itu, semua orang terasa sangat bersalah di
mata kita, tiba-tiba kita ingin menanyai mereka satu-satu: mana janji
persahabatan yang kita punya? Tiba-tiba kita ingin menggugat: katanya
kita teman? Satu menit, bolehlah kita merasa sedemikian terluka, tapi pada
saat itu ada baiknya kita diam, jangan ucapkan satu patah kata pun, apa lagi
meng-update perasaan kita di kotak What’s on your mind dan
sejenisnya. Ada dua hal yang mendasari dua keputusan untuk diam di saat kita
terluka dan meras ditinggalkan. Pertama, perkataan yang keluar saat kita
terluka bisa jadi akan menimbulkan penyesalan sesudahnya. Sesudahnya hati kita
seperti berbelah-belah, sisi lain berkata: egois sebentar dan sedikit tak
apalah, belah lain menyalahkan: seharusnya aku bisa bersikap lebih baik.
Sibuk, sangat sibuk, sampai-sampai kita akan merasa gundah. Kedua, diam adalah
waktu singkat untuk berpikir kembali: bergunakah tuntutan-tuntutan yang kita
maui? Seberapa dekat korelasi tuntutan itu dengan berjalannya dakwah yang
rodanya tengah kita putar saat ini? Sebab barangkali semua keinginan kita
hanyalah sebuah cara tentang perasaan iri yang diperhalus, cemburu yang dikemas
sok cantik, dan dengki yang seolah-olah lebih berkualitas.
Maka,
sebentar saja kita kembali memaknai jalan yang tengah sama-sama kita rengkuh.
Bagaimanapun kita kita tengah mendorong kendaraan paling penting: dakwah.
Jikalau di jalan ini kita harus banyak merasa mengalah, maka yakinlah suatu
hari nanti kita pasti akan menjadi seorang pemenang. Di jalan ini, letakkan
sedikit ego kita, sedikit saja. Sungguh dakwah membutuhkan orang-orang yang
berprinsip: sedikit mengalah untuk menang. Sejenak kita kembali pada hati-hati
kita, sebanyak apakah tuntutan kita di jalan ini sejauh ini? Kita bukanlah yang
terpenting hari ini, akan tiba masa di mana semuanya mementingkan kita, semoga
di akhirat kelak kita akan menjadi salah satu bagian yang penting dan
dipentingkan ...
by : Azizatun Nurhayati (BKK KMMP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar