Coba Cari Disini

RA Kartini: ..Min azh Zhulumaati ila an Nuur..

Jumat, 20 April 2012



RA Kartini: ..Min azh Zhulumaati ila an Nuur..
[Dari Gelap Menuju Cahaya]
-penggalan QS Al Baqarah : 257-

            Ada yang mengernyitkan dahi membaca judul di atas? Atau ada yang protes, “RA Kartini dan Dari Gelap Menuju Cahaya? Bukankah seharusnya RA Kartini dan Habis Gelap Terbitlah Terang?” Atau ada yang lebih kritis menanyakan, “Apa hubuangannya RA Kartini dan penggalan QS Al Baqarah:257?”
            Bagi kaum perempuan yang mengkaji dengan teliti sejarah RA Kartini, mereka paham bahwa sesungguhnya beliau bukanlah pejuang emansipasi (ataupun feminisme) tetapi pejuang Islam. Mungkin, masih banyak di antara kita yang mengernyitkan dahi sambil terheran-heran. Atau ada yang mau protes, “Nggak kq!! Yakin 100% bahwa beliau adalah pejuang emansipasi! Mayoritas referensi menyatakan demikian.”
Hmh.., ingat, Kawan, suara mayoritas bukanlah standar kebenaran. Belum tentu yang mayoritas itu yang benar. Contohnya : mayoritas penduduk Perancis menyetujui adanya pelarangan terhadap wanita muslimah di sana untuk memakai jilbab (dan keputusan ini disahkan oleh parlemen Perancis). Di AS dan beberapa negara Eropa, mayoritas masyarakatnya menganggap perilaku homo dan lesbian sebagai bentuk kebebasan bertingkah laku sehingga pelakunya harus dilindungi undang-undang. Nah, apakah tidak menutup aurat bagi muslimah, juga perilaku homo dan lesbian, akan dianggap benar dan halal karena suara mayoritas demikian adanya?

RA Kartini dan Islam
            Di waktu kecilnya, RA Kartini pernah menjadi santri KH. Muhammad Sholeh Darat bin Umar, seorang ulama besar dari Semarang yang tergugah untuk menerjemahkan Al Quran ke bahasa Jawa dan menghadiahkan terjemahan tersebut pada saat Kartini menikah (RA Kartini menikah di usia 24 tahun dan beliau wafat di usianya yang ke-25). Terjemahan itu berupa jilid I yang terdiri dari 13 juz, dari Surat Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Terjemahan tersebut belum selesai karena tidak lama setelah itu KH Sholeh Darat wafat.
Sejak mendapat terjemah Al Quran tersebut, Kartini mulai mempelajari Islam dengan sesungguhnya. Seandainya beliau sempat mempelajari keseluruhan isi Al Quran, maka tidak mustahil beliau akan menerapkan semua hal yang dituntut Islam atas kemuslimahannya (termasuk jilbab dan khimar/kerudung). Buktinya? RA Kartini berani menentang adat Jawa yang dirasanya sangat feodal.
Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran (fikrah) dan keningratan budi (akhlak). Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang yang membanggakan keturunannya.” [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899].
Kartini juga pernah menentang poligami. Namun, setelah mengenal Islam beliau menerimanya dengan sukarela (RA Kartini adalah istri ke-4 dari Bupati Rembang).


Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal indah dalam masyarakat Ibu terdapat hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?!” [Surat Kartini kepada Ny. E. Abdanon, 27 Oktober 1902].

Dari mempelajari Islam melalui terjemahan Al Quran itulah Kartini menemukan Surat Al-Baqarah:257. Beliau sangat terkesan dengan kata “minazh zhulumati ilan nuur” yang artinya dari gelap menuju (kepada) cahaya. Dalam banyak suratnya yang ditulis dalam bahasa Belanda, beliau sering menyebutkan kata tersebut “door Duisternist tot Licht”. Setelah beliau wafat, kata itu kehilangan makna sampai akhirnya diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang” oleh seorang pengarang Kristen, Armyne Pane, yang mungkin lebih puitis tapi malah nggak persis (sense dan maknanya)[dalam Asma Karimah. Tragedi Kartini: Sebuah Pertarungan Ideologi]
RA. Kartini bahkan pernah menulis,
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [ Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902 ].



Bukan Pejuang Emansipasi
Nah, kalau kembali ke sejarah Kartini, maka sebenarnya mengaitkan sejarah Kartini dengan emansipasi adalah bentuk pemaksaan yang tulalit alias nggak nyambung. Sejatinya, RA. Kartini tidak berjuang untuk emansipasi/feminisme. Yang justru beliau perjuangkan adalah Islam, di mana Islam adalah lawan dari sekulerisme (paham yang memisahkan agama dari semua aspek kehidupan/ paham yang menganggap bahwa agama tidak boleh campur tangan dalam mengatur kehidupan) yang menjadi ide dasar feminisme. Apa yang beliau perjuangkan adalah hak perempuan pribumi dalam menuntut ilmu dan belajar (di dalam Islam, menuntut ilmu itu wajib bagi laki-laki dan perempuan), karena pada saat itu laki-laki diperbolehkan menuntut ilmu sampai jenjang yang tinggi, sementara perempuan dibatasi sampai jenjang tertentu saja. Apa yang RA Kartini perjuangkan bukanlah kebebasan yang “over dosis” bagi wanita sebagaimana yang digembar-gemborkan kalangan feminis.
“Alangkah besarnya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan...” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, Agustus 1901].
Beliau juga menulis, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Ny. Anton, 4 Maret 1902]



Jadi, dari mana Asal Ide-ide Emansipasi?
Emansipasi, ide yang digembor-gemborkan kaum feminis, sebenarnya berasal dari sejarah gelap Eropa; tepatnya sejarah Romawi (cikal bakal peradaban Barat). Saat itu, bangsa Romawi aktif mengadakan seminar-seminar untuk membahas tabiat dan karakter wanita : Apakah wanita tergolong suatu benda atau manusia? Apakah wanita memiliki nyawa seperti pria ataukah ia hanya memiliki nyawa seperti nyawa binatang? Pada akhirnya, seminar-seminar tersebut berkesimpulan bahwa wanita tidak memiliki nyawa sama sekali. Bahkan wanita pun (dalam bahasa Romawi femina, fe dari kata faith dan mina dari kata minus) diartikan sebagai orang yang imannya kurang. Dalam peradaban Romawi, kaum wanita diperlakukan seperti barang, diperbudak, serta dianggap seperti benda mati.
Pasca Perang Dunia I dan II, Eropa mengeluh kekurangan pria dewasa dan pemuda produktif untuk proses industrialisasi. Dengan alasan untuk mendorong roda pembangunan, kaum wanita dipaksa keluar rumah untuk bekerja di pabrik, kantor, dan instansi pemerintahan, dan sebagainya. Kaum wanita diberi kebebasan berkiprah seluas-luasnya di sektor publik. Wanita yang tidak terjun ke ranah publik justru dianggap tidak punya martabat, tidak berdaya, dan tidak memiliki nilai lebih. Oleh karena itu, kaum feminis beranggapan bahwa kaum wanita harus diberdayakan melalui slogan-slogan emansipasi. Bahkan kaum feminis dan pegiat gender memandang bahwa Islam (yang menjadikan perempuan memiliki peran utama sebagai ibu dan pengatur rumah tangga) sebagai faktor yang membelenggu perempuan. Mereka mengganggap pembagian  peran  tersebut sebagai bentuk penindasan terhadap kaum wanita. Maka, menurut para pejuang gender dan kaum feminis, wanita harus dibebaskan dari berbagai penindasan ini; yang berarti pula bahwa wanita harus dijauhkan dari Islam.


*diolah dari berbagai sumber

~Media Opini KMMP~

3 komentar

  1. kayaknya aku pernah deh lihat tulisan ini dan turut membantu mengetiknya..... hehehe dari anak mikro ya...^^

    BalasHapus
  2. iya benar sekali, ini tulisannya ukhti ninis (mikro 2011)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waahh,, saya baru buka web ini. Ini adalah tulisan saya (Yohanna Anisa, mikro'08). Waktu itu atas permintaan dik Fitpridar KMMP. Baru tahu klo tulisan saya dipublish tanpa mencantumkan nama saya. ^^,

      Hapus

 

Kajian Muslimah

Kajian Muslimah
Klik Gambar Untuk Informasi

KMMP Weekly Posting

KMMP Weekly Posting
Klik Gambar Untuk Informasi

Perpustakaan KMMP

Perpustakaan KMMP
Klik Gambar Untuk Informasi

Kirim Tulisanmu

Kirim Tulisanmu
Klik Gambar Untuk Informasi

Perlukah adanya Mesjid di Fakultas Pertanian UGM

Most Reading